Cinta Itu Bukan Bola
Oleh : Asri Surtayati
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar
cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi
relung hatiku, tercabut secara paksa.
Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku
memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah
permainan, di handphone kesayanganku.
“Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut
gemuk?” tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di
samping kanan tempat tidurku.
“Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak
tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan
lo enggak gemuk sih?” Hanny yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan
Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami.
“Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya?” timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka.
“Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya?”
“Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya
kamus kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja,” ledek Wery,
sambil tertawa terbahak-bahak.
Kami pun kemudian tertawa.
Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda
tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam.
Tapi memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos.
Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa
kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda.
Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan
betah tinggal di kost-an.
“Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia?” Henny masih penasaran.
“Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue
makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal,
gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena
kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada
gue meninggal karena kekurangan gizi,” aku yang sejak tadi bergeming,
akhirnya menanggapi kata-kata mereka.
“Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan.”
Tok... tok... tok....
Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar.
Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu.
“Tari, gue mau curhat!” Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan
pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras
kemudian langsung berlari ke arahku.
“Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini,” tanyaku, heran.
“Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini.”
“Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah.” Hanny protes.
“Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget!” Laras marah.
“Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk.”
Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny
dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari
kamar mereka.
Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar
untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami
sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan
hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan
kekeluargaan di antara kami lebih terasa.
Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang
berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah
lelah, ikut berbaring di sampingnya.
“Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget.
Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis,
terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh.
Gue suka sama dia.”
“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu
hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali
ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali
ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.
“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri.”
“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.
“Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus
lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar
cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi
relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin
mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya
dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat,
begitu bahagia.
Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata
mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak
pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah
kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi
aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
***
“Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak?”
“Enggak ada. Memang ada apa?”
“Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku?”
“Untuk kamu, apa sih yang enggak?”
“Ya sudah. Berangkat, yuk.”
“Oke.”
RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu.
Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di
hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah
angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis
horizontal.
Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya
meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama
beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.
“Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.
Aku bangkit, kemudian berseru, “Fikri, aku ingin bermain dengan ombak.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku.
Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati
riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan
langkahnya dengan langkahku.
Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku.
“Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku.”
“Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya,” untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan.
“Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan.”
Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata
aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih
dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku
merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang.
“Kamu curang,” seruku, masih dengan tersengal-sengal.
“Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh,” jawab Fikri, sekenanya.
Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal.
Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku
lebih tenang.
“Sayang, sebenarnya ada apa sih?”.
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari
ini,” jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal.
Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, “Aku pikir kamu mau cerita
sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita
sesuatu.”
“Masa, sih?”
“Bukannya iya?”
Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di
tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk
barat.
***
Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis
horizontal, aku mengatakan, “Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku
enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama
kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu.”
“Maksud kamu apa?!”
Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya
perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama
seperti yang Fikri rasakan saat ini.
“Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan
cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia
adalah Laras.”
“Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu
oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu!” Fikri marah
besar.
Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah
sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku
seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras.
Dan membuatnya bahagia.