Aku mendengar sesuatu, seperti suara langkah seseorang, pelan, mantap, dan semakin dekat. Aku pikir ini bukan jam sekolah, biasanya jarang sekali yang muncul di jam-jam ini untuk sekedar memasuki ruang luas, sesak dan pengap ini. Lagi pula siapa yang mau membaca buku buku usang seperti ini. Sepertinya bertahun-tahun sudah tak pernah ada yang menjamah. Lantas siapa orang tersebut, apa iya mang Dudun? Seingatku, Aku tadi sudah minta ijin, lagian sepertinya mang Dudun tidak pernah curiga saat aku sedang asik menikmati kesendirianku.
Aku berniat untuk menemui sumber suara tersebut, tapi belum sedetik niat itu terlaksana. Seeorang menepuk pundakku dengan mantap. "Hai, lo Delina Syifara kan?" kata seseorang di sana yang sontak membuatku bingung bukan kepalang. Selama dua tahun menyusuri sekolah ini, tidak pernah aku melihatnya, sekalipun tidak. Lantas siapa orang ini, seragamnya sama dengan yang ku gunakan, apa mungkin dia anak baru? Aku bahkan melupakan pertanyaanya karena batinku yang masih belum menemukan pemenang dalam perdebatan hangat antara ingatan dan logika. Sampai sampai semua yang orang itu katakan sudah seperti sorak sorai penyemangat pertandingan, semakin memanaskan pergulatan atas lamunanku.
Aku masih saja diam, asik dengan hayalanku sendiri, 2-5 menit aku masih tidak memedulikan seseorang yang sedari tadi sudah memasang tampang kebingungan. Tiba-tiba muncul ide untuk menemui guru BK dan menanyakan perihal seseorang yang ku temui ini. Akhirnya, tidak ada lagi sorak sorai gemuruh, tidak ada lagi sungut-sungut api perdebatan, semua sudah terpampang nyata, gamblang dan terang benderang. Tanpa berfikir panjang lagi aku berlari keluar dari ruang perpustakaan lama ini. Tanpa peduli dengan orang yang membuatku penasaran tadi, tanpa sepatah kata apapun dan tanpa menoleh sedikitpun.
Sesampainya di ruang BK, aku langsung menemui bu Mut, guru BK yang memang akrab sekali dengan ku. Aku menceritakan semua hal yang terjadi padaku beberapa menit yang lalu, tanpa kurang sedikit apapun, tanpa kurang sepatah kata apapun, bahkan tanpa kurang satu denyut nadi sekalipun. Bu Mut menyimak dengan seksama, bahkan tidak menghentikanku yang berbicara sepanjang rel kereta api yang tidak ada habisnya dan tidak ada jaraknya. Beliau sungguh cekatan dalam menjawab semua kegundahanku, sebelum benar benar menjawab, beliau menanyakan sesuatau hal yang kontan membuatku menjadi seseorang paling bodoh dan paling ceroboh seantero raya. "Kenapa tidak tanya orangnya langsung Delin? Bukankah lebih akurat dan tidak belibet? Ibu juga belum menerima kabar ada siswa pindahan. Mungkin itu adik kelas atau kakak kelas kamu jadi kamu tidak begitu familiar dengan wajahnya."
Sekali lagi aku terjun dalam jurang yang kugali sendiri. Betapa bodohnya. Aku lantas berterimakasih dan pamit pada Mut. Tancap gas penuh lalu berlari menuju perpustakaan tempat ku bertemu orang itu. Tapi sayang sepertinya dia sudah pergi. Karena kecewa, aku memutuskan bolos kelas dan berdiam diri saja di ruangan kesayangan ini. Tidak akan pernah ada yang mengusikku di sini, kecuali orang tadi, dia orang pertama yang masuk ruangan ini saat aku berada di dalamnya, sebelumnya? Tidak pernah ada kecuali suara mang Dudun yang hanya terdengar dari pinggiran pintu.
Aku terjebak dalam lamunan panjang, tiba-tiba... darrr.... orang itu lagi, sejak kapan dia sudah terduduk sila di sebelahku. Apa aku yang terlampau asik dengan lamunanku sampai-sampai tidak menyadari dia masuk ke dalam ruangan ini. Ah semua masih abu-abu, aku tidak mengenal dia, tapi dia bahkan sudah hafal nama lengkapku, alamat rumahku, dan kebiasaan ku di dalam perpustakaan ini. Sayang sekali setiap pertanyaan yang aku berikan tidak pernah mendapatkan sambutan yang hangat, selalu saja ia mengalihkannya pada pembicaraan yang lain. Tapi aku tidak terlalu mempermasalhkan hal itu. Hingga saatnya aku pulang pun aku sama sekali tidak berhasil mengorek informasi tentang dirinya.
Keesokan harinya sengaja aku keliling sekolah untuk mencarinya, tapi sayang tidak ada satupun wajah yang serupa dengannya. Jam istirahat hari ini aku harus menemui mang Dudun untuk menanyakan langsung perihal siswa misterius tersebut. Sekarang aku harus kembali ke kelas, mengikuti pelajaran yang sudah sering sekali aku tinggal..
Jam istirahat. Aku berlari seperti orang yang sedang di kejar-kejar anjing. Tidak karuan cepatnya. Tepat di depan pintu perpustakaan mang Dudun sudah menungguku, seperti biasa. Beliau sudah hafal benar karena setiap hari, setiap jam istirahat pasti aku menyempatkan membaca buku-buku usang di dalam.
Hari ini aku sengaja tidak mau masuk ke dalam perpustakaan. Aku mengajak mang Dudun ke kantin untuk menanyakan semua gundah yang asik mengobak-abik pikiranku. Pertama aku menceritakan kronologis kejadian dari mulai bertemu sampai terakhir saat jam pulang sekolah, mang Dudun menyimakku bercerita tanpa jeda. sama persis seperti saat aku bercerita pada bu Mut. Aku terlampau antusias. Tapi mereka masih saja menyimak dengan seksama.
Mang Dudun seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu ia bercerita sepanjang ini.. "ohh.. mungkin yang eneng lihat itu kang Ardi, sewaktu sekolah di sini kang Ardi punya kebiasaan yang sama kaya neng Delin, suka menyendiri dan suka sekali dengan buku-buku lama. Dulu sebelum neng Delin masuk sekolah ini, kang Ardi yang selalu ngampiri perpustakaan lama itu, kalau dintanya kenapa gak ke ruang perpustakaan yang baru, selalu di jawab bukunya membosankan, sama kan kaya neng.. Tapi sayang sekali, tepat tanggal 17 Juli dua tahun lalu kang Ardi meninggal karena kecelakaan motor sewaktu pulang sekolah. Sejak itu perpustakaan lama tidak pernah di datangi satu orang pun, ruangannya jadi pengap karena tidak pernah di buka. Tapi semua berubah saat neng Delin sekolah di sini dan lari-lari nyari mang Dudun buat minta kunci perpustakaan lama. Kebiasaan neng sama persis kaya kang Ardi. Mungkin karena itu kang Ardi suka sama neng, nemenin neng biar gak sendirian di perpustakaan."
Dan aku hanya diam...................................
Aku berniat untuk menemui sumber suara tersebut, tapi belum sedetik niat itu terlaksana. Seeorang menepuk pundakku dengan mantap. "Hai, lo Delina Syifara kan?" kata seseorang di sana yang sontak membuatku bingung bukan kepalang. Selama dua tahun menyusuri sekolah ini, tidak pernah aku melihatnya, sekalipun tidak. Lantas siapa orang ini, seragamnya sama dengan yang ku gunakan, apa mungkin dia anak baru? Aku bahkan melupakan pertanyaanya karena batinku yang masih belum menemukan pemenang dalam perdebatan hangat antara ingatan dan logika. Sampai sampai semua yang orang itu katakan sudah seperti sorak sorai penyemangat pertandingan, semakin memanaskan pergulatan atas lamunanku.
Aku masih saja diam, asik dengan hayalanku sendiri, 2-5 menit aku masih tidak memedulikan seseorang yang sedari tadi sudah memasang tampang kebingungan. Tiba-tiba muncul ide untuk menemui guru BK dan menanyakan perihal seseorang yang ku temui ini. Akhirnya, tidak ada lagi sorak sorai gemuruh, tidak ada lagi sungut-sungut api perdebatan, semua sudah terpampang nyata, gamblang dan terang benderang. Tanpa berfikir panjang lagi aku berlari keluar dari ruang perpustakaan lama ini. Tanpa peduli dengan orang yang membuatku penasaran tadi, tanpa sepatah kata apapun dan tanpa menoleh sedikitpun.
Sesampainya di ruang BK, aku langsung menemui bu Mut, guru BK yang memang akrab sekali dengan ku. Aku menceritakan semua hal yang terjadi padaku beberapa menit yang lalu, tanpa kurang sedikit apapun, tanpa kurang sepatah kata apapun, bahkan tanpa kurang satu denyut nadi sekalipun. Bu Mut menyimak dengan seksama, bahkan tidak menghentikanku yang berbicara sepanjang rel kereta api yang tidak ada habisnya dan tidak ada jaraknya. Beliau sungguh cekatan dalam menjawab semua kegundahanku, sebelum benar benar menjawab, beliau menanyakan sesuatau hal yang kontan membuatku menjadi seseorang paling bodoh dan paling ceroboh seantero raya. "Kenapa tidak tanya orangnya langsung Delin? Bukankah lebih akurat dan tidak belibet? Ibu juga belum menerima kabar ada siswa pindahan. Mungkin itu adik kelas atau kakak kelas kamu jadi kamu tidak begitu familiar dengan wajahnya."
Sekali lagi aku terjun dalam jurang yang kugali sendiri. Betapa bodohnya. Aku lantas berterimakasih dan pamit pada Mut. Tancap gas penuh lalu berlari menuju perpustakaan tempat ku bertemu orang itu. Tapi sayang sepertinya dia sudah pergi. Karena kecewa, aku memutuskan bolos kelas dan berdiam diri saja di ruangan kesayangan ini. Tidak akan pernah ada yang mengusikku di sini, kecuali orang tadi, dia orang pertama yang masuk ruangan ini saat aku berada di dalamnya, sebelumnya? Tidak pernah ada kecuali suara mang Dudun yang hanya terdengar dari pinggiran pintu.
Aku terjebak dalam lamunan panjang, tiba-tiba... darrr.... orang itu lagi, sejak kapan dia sudah terduduk sila di sebelahku. Apa aku yang terlampau asik dengan lamunanku sampai-sampai tidak menyadari dia masuk ke dalam ruangan ini. Ah semua masih abu-abu, aku tidak mengenal dia, tapi dia bahkan sudah hafal nama lengkapku, alamat rumahku, dan kebiasaan ku di dalam perpustakaan ini. Sayang sekali setiap pertanyaan yang aku berikan tidak pernah mendapatkan sambutan yang hangat, selalu saja ia mengalihkannya pada pembicaraan yang lain. Tapi aku tidak terlalu mempermasalhkan hal itu. Hingga saatnya aku pulang pun aku sama sekali tidak berhasil mengorek informasi tentang dirinya.
Keesokan harinya sengaja aku keliling sekolah untuk mencarinya, tapi sayang tidak ada satupun wajah yang serupa dengannya. Jam istirahat hari ini aku harus menemui mang Dudun untuk menanyakan langsung perihal siswa misterius tersebut. Sekarang aku harus kembali ke kelas, mengikuti pelajaran yang sudah sering sekali aku tinggal..
Jam istirahat. Aku berlari seperti orang yang sedang di kejar-kejar anjing. Tidak karuan cepatnya. Tepat di depan pintu perpustakaan mang Dudun sudah menungguku, seperti biasa. Beliau sudah hafal benar karena setiap hari, setiap jam istirahat pasti aku menyempatkan membaca buku-buku usang di dalam.
Hari ini aku sengaja tidak mau masuk ke dalam perpustakaan. Aku mengajak mang Dudun ke kantin untuk menanyakan semua gundah yang asik mengobak-abik pikiranku. Pertama aku menceritakan kronologis kejadian dari mulai bertemu sampai terakhir saat jam pulang sekolah, mang Dudun menyimakku bercerita tanpa jeda. sama persis seperti saat aku bercerita pada bu Mut. Aku terlampau antusias. Tapi mereka masih saja menyimak dengan seksama.
Mang Dudun seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu ia bercerita sepanjang ini.. "ohh.. mungkin yang eneng lihat itu kang Ardi, sewaktu sekolah di sini kang Ardi punya kebiasaan yang sama kaya neng Delin, suka menyendiri dan suka sekali dengan buku-buku lama. Dulu sebelum neng Delin masuk sekolah ini, kang Ardi yang selalu ngampiri perpustakaan lama itu, kalau dintanya kenapa gak ke ruang perpustakaan yang baru, selalu di jawab bukunya membosankan, sama kan kaya neng.. Tapi sayang sekali, tepat tanggal 17 Juli dua tahun lalu kang Ardi meninggal karena kecelakaan motor sewaktu pulang sekolah. Sejak itu perpustakaan lama tidak pernah di datangi satu orang pun, ruangannya jadi pengap karena tidak pernah di buka. Tapi semua berubah saat neng Delin sekolah di sini dan lari-lari nyari mang Dudun buat minta kunci perpustakaan lama. Kebiasaan neng sama persis kaya kang Ardi. Mungkin karena itu kang Ardi suka sama neng, nemenin neng biar gak sendirian di perpustakaan."
Dan aku hanya diam...................................